Minggu, 29 November 2009

Tekanan Psikologi Yang Mempengaruhi Nilai UN(Ujian Nasional)

Pendahuluan
Hasil UN tahun 2009 telah diumumkan 15 Juni 2009. BSNP menyatakan bahwa “Angka kelulusan SMA dan MA tahun ini naik 2,3% yaitu sebesar 93,62% dari angka tahun lalu yang sebesar 91,32%”. Ini berarti masih ada 8,68% siswa SMA dan MA tidak lulus. Siapa yang salah? Pasti tidak akan ada yang pihak yang dengan rendah hati mengakui itu adalah kesalahannya. Hal yang sangat mungkin terjadi, pihak yang paling disalahkan adalah siswanya sendiri dan guru atau sekolah. Siswa akan dinilai orang “bodoh” yang tidak memiliki kemampuan menjawab soal-soal dengan baik. Guru dan sekolah akan dianggap gagal “mendidik” lebih tepatnya mengajar para siswanya, dan jika jumlahnya banyak sekolah akan dianggap sekolah yang tidak “bonafid”.
Fair?
Para siswa dan guru yang disalahkan pun pasti akan membela diri. Lantas siapa yang harus disalahkan. Kalau mau fair, tentu tidak mudah menentukan siapa yang salah. Karena sesungguhnya keberhasilan itu sangat dipengaruhi oleh banyak sekali faktor. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor-faktor yang berasal dalam diri siswa sendiri, seperti kecerdasan intelektual, kecemasan, kesiapan mental, bahkan kondisi fisik. Bagi siswa yang memiliki keterbatasan kecerdasan intelektual tentu akan mengalami kesulitan menghadapi soal-soal UN yang diperuntukkan mereka yang normal dan di atas normal, sekalipun batas kelulusan hanya 5,5. Sekuat apapun mereka berusaha dan menyiapkan diri, tetapi karena memang dasarnya kecerdasan mereka terbatas akan sulit berhasil dengan baik. Dengan kondisi seperti ini, apakah mereka pantas disalahkan atas kegagalannya lulus UN. Satu hal yang pasti dan patut kita sadari adalah bahwa tidak ada seorang pun mau memiliki keterbatasan kecerdasan intelektual ini. Semua orang pasti menginginkan memiliki kecerdasan yang luar biasa, minimal normal.
Faktor kecemasan apabila ada dalam ambang tertentu akan mendorong siswa memiliki kekuatan untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Namun apabila kecemasan ini berlebihan, karena terlalu banyaknya tekanan — baik dari dalam diri dan terutama dari luar — maka kecemasan ini akan berdampak negatif terhadap kesiapan mereka menghadapi ujian. Dengan kata lain mereka yang terlalu cemas dan takut cenderung akan menjadi tidak siap menghadapi soal-soal; akan menjadi kurang percaya diri untuk dapat berhasil menyelesaikan soal-soal dengan baik. Pada akhirnya, dengan kondisi seperti ini jelas peluang untuk bisa berhasil lulus UN menjadi sangat kecil.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya yang mempengaruhi hasil belajar adalah kondisi fisik siswa. Tidak bisa dipungkiri kondisi fisik siswa yang tidak fit, sakit atau bahkan stress akan sulit dapat menyelesaikan soal-soal ujian yang membutuhkan konsentrasi penuh. Anak yang diare, misalnya — bisa jadi karena stres — akan sulit berkonsentrasi secara penuh untuk dapat menyelesaikan soal dengan baik, karena dalam waktu yang bersamaan mereka juga harus merasakan kondisi fisiknya yang tidak mendukung. Siswa yang berada dalam kondisi seperti inipun bukanlah mustahil pada akhirnya gagal lulus UN.

Faktor Eksternal
Yang dimaksud faktor eksternal adalah faktor-faktor yang ada di luar diri siswa yang dapat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan siswa lulus ujian nasional, seperti lingkungan belajar di rumah atau sekolah, lingkungan fisik tempat ujian berlangsung, fasilitas/sarana dan prasarana yang dimiliki dan digunakan siswa, baik di rumah maupun di sekolah, situasi dan kondisi pada saat ujian berlangsung, dan juga masalah teknis berkenaan dengan cara mengisi lembar jawaban dan proses pemeriksaan lembar jawaban.
Para siswa yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai dan didukung oleh lingkungan fisik dan sosial yang baik, tentu akan memiliki peluang yang sangat besar untuk berhasil dalam UN. Karena dengan faktor-faktor eksternal yang mendukung, mereka akan dengan penuh konsentrasi mempersiapkan dan mengikuti UN.
Demikian juga dengan kondisi sarana dan prasarana di sekolah. Sekolah yang memiliki sarana dan prasarana yang memadai yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar bagi siswa akan sangat membantu para siswanya menguasai kompetensi/materi yang akan diujikan. Tidaklah terlalu heran, kalau banyak siswa yang berhasil lulus dengan nilai 10, berasal dari sekolah-sekolah yang selama ini dicap sebagai sekolah “bonafid”. Sekolah-sekolah seperti ini tentu memiliki sumber belajar yang kaya yang memungkinkan para siswanya belajar lebih intens dan fokus. Tidak hanya itu, sekolah seperti ini juga dilengkapi dengan parasarana yang sangat mendukung, ruang ber-AC, lingkungan yang bersih, dlsb. yang semuanya akan membuat siswa belajar lebih konsentrasi. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah yang “seadanya”. Biasanya siswa yang bersekolah di sekolah seperti ini, mereka hanya mengandalkan buku-buku yang mereka miliki yang juga seadanya. Bisakah mereka belajar maksimal yang pada akhirnya dapat lulus UN dengan baik?
Tidak kalah pentingnya adalah masalah teknik pada saat para siswa menjawab soal dan proses pemeriksaan lembar jawaban. Faktor inipun kalau saja tidak diperhatikan dengan baik dapat siswa mengalami kegagalan (tidak lulus UN). Hal ini terbukti, dari beberapa kasus, para siswa dinyatakan tidak lulus UN karena pada saat proses pemeriksaan, lembar jawaban siswa diperiksa dengan menggunakan kunci jawaban yang berbeda. Otomatis nilai siswa “anjlok” dan divonis tidak lulus. Apa jadinya, dan bagaimana nasib mereka kalau hal ini terjadi terus menerus?

Dengan analisis di atas apakah kita masih akan menyalahkan sepenuhnya kepada para siswa atas kegagalan mereka dalam UN?

Pengaruh Ilmu Psikologi dan Teknologi Dalam Perkembangan arsitektur

Pengaruh Ilmu Psikologi Dalam Perkembangan arsitektur

Adanya pengaruh psikologi dalam arsitektur tentulah sebagai sebuah parameter dalam perencanaan, sehingga dapat menciptakan bangunan yang tak meninggalkan fungsi-fungsi dan efienitas. Pada akhirnya konsep-konsep akan ‘privacy’, ‘teritori’, ‘konsep’ jelas dibutuhkan kerjasama dan kepaduan kesemuanya. Psikologi manusia-arsitektural nyata halnya, terjadi nya suatu proses dengan variasi-varias, ‘batasan-batasan’ tersebut menjadikan proses psiko-arsitektural tidak dapat pernah dapat dihentikan dan terhentikan. Aspek psikologi yang kerap kali masuk kedalam perancangan arsitektur justru menghadirkan pembaharuan pada setiap ‘kertas kerja’nya,
Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmupengetahuan yang mandiri, telah berkembang pula.Begitu halnya psikologi arsitektur yang mengemukakan antara lingkungan fisik, khususnya yang berkaitan dengan penurunan kualitas fisik serta timbulnya gangguan terhadap perilaku dan gangguan terhdap keseimbangan alamiah akibat intervensi manusia melalui pembangunan fisik.
Kenapa bisa terjadi unsur psikologis dan komersil selalu dimasukkan dalam perancangan karya-karya arsitektur ? Indikasi adanya keterkaitan antara psikologis-komersil dalam perancangan arsitektur adalah munculnya pemikiran tentang ide fungsionalisme yang lahir dan berkembang. Psikologi mempengaruhi dan mengkaitkan tipical ruangan atau rancangan menjadi suatu patokan dan batasan desain yang ‘wajib’. Seolah menjadi batasan yang tidak boleh dilanggar. Tak hanya psikologi manusia yang menjadi standarisasi dalam perancangan arsitektural namun juga komersil arsitektur. Nilai-nilai komersil mengatur dan merealisasikan keinginan psikologi manusia dalam perancangan arsitektur. Tak ada Komersil maka psikologi dalam karya arsitektur tak akan terealiasasi begitu halnya sebaliknya. Tak ada ‘standarisasi’ psikologi manusia dalam rancangan arsitektur maka tak lagi ada bangunan yang cukup untu k dinilai secara nominal, karena keinginan dan ‘standarisasi’ manusia yang berubah., Fungsionalis mengindahkan aspek psikologi dan sebaliknya. Pada akhirnya keduanya diungkapan dengan adanya ‘konsep bentuk’ dan ‘konsep ruang’, selalu saja ada konsep. Begitulah konsep, sifatnya mengatur, seolah mengikat, ‘mewajibkan’ dan mencampuri. Semua tampak kompleks, bentuk bisa jadi merupakan hal yang pasti dan tetap, walaupun pada kesan yang dtinggalkannya dalam alam pikiran manusia selalu bisa berubah dan berkembang. Dalam sisi psikologis ‘konsep’ dapat saya artikan sebagai sebuah ‘privacy’, yang dianggap mendasari. ‘Privacy’ dalam arsitektural mungkin dapat saya analogkan dengan ‘Teritori’ sebagai batas wilayah fisik ataupun abstrak. Dalam psikologi ‘privacy’ yang dimaksudkan adalah sebagai pengontrol perilaku dalam ruangan terhadap subjek lain, orang ataupun hal lain. Konsep ‘privacy’ ataupun ‘teritori’ dalam arsitektur bisa diartikan sebagai kebutuhan manusia untuk menikmati sebagian kehidupan sehari-harinya tanpa ada gangguan langsung ataupun tidak dari hal lain dan psikologi manusia menjelaskan bahwa psikologi ‘privacy’ sebagai kebebasan pribadi untuk memilih apa yang akan disampaikan kepada siapa dan tentang apa.

Pengaruh Teknologi Dalam Perkembangan arsitektur

Pada jaman sekarang ini, tenologi sangat berkembang pesat dan mempengaruhi segala aspek kehidupan, tidak terkecuali dunia arsitektur. Teknologi mulai mempengaruhi dunia arsitektur yaitu pada awal tahun 1970. Hal terebut dapat terlihat pada karya Renzo Piano yaitu Pusat Georges Pompidou di paris yang menggunakan material-material kaca dan logamdengan mengekspose secara transparan bentuk-bentuk jaringan dalam bangunan serta udah mulainya penggunaan escaator, wallkways da ornamen-ornamen di luar gedung yang menggunakan pemanfaatan teknologi.
Pada masa masa revolusi industri teknologi sangat berkebang pesat. Ciri bangunan yang berkembang adalah ciri bangunan pabrik. Hal ini dilatar belakangi oleh perkembangan industri dan teknologi pada saat itu, bangunan-bangunan lebih mengutamakan efesiensinya, dimana grid-grid yang diambil biasanya teratur dan lurus,dan ornamen sangat jarang dipakai.
Teknologi pengambilan keputusan (decision support system) pada disain arsitektur sampai perencanaan kota sejak akhir 90-an juga telah banyak dibanjiri dengan teknologi komputer yang sangat interaktif.
Bagaimana sebuah bentuk bangunan terwujud adalah hasil dari evolusi teknologi terhadap material. Apabila kita mengambil sudut pandang arsitektur tradisional, arsitektur modern atau jenis sebutan arsitektur lainnya oleh manusia, suatu bangunan memiliki elemen pembentuk yang lebih kecil yaitu, material dan teknologi bangunan. Teknologi material memiliki hub timbal balik dengan teknologi struktur.
Dengan ditemukannya teknologi transportasi vertikal, teknologi penghawaan serta mesinmesin utilitas lainnya, memungkinkan diciptakannya karya-karya arsitektur yang kompleks maupun gedung-gedung pencakar langit. Dengan berkembangnya sistem rekayasa konstruksi, memungkinkan pembangunan pencakar langit secara cepat, pemanfaatan ruang-ruang bawah tanah secara efektif dan pemanfaatan teknologi lainnya.